SEKILAS (sejarah b.indonesia)
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928.
pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam
kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia,
(2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan
pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa
<?xml:namespace prefix = st1 ns =
"urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />Indonesia. Pada
tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa
nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18
Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti
yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit
berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang),
Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun
688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna.
Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa
Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor
ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu
Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai
bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap
para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun
(Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud
Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara,
yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan
kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan
di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16
dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah
Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama
Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat
Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang,
antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat
tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang
dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di
wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah.
Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa
Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu
pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong
tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi
antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para
pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan
pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah
sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa
negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat
Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dari sudut pandang linguistik,
bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia
mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan
administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20.
Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan
"imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih
dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi
kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu
dari 748 bahasa yang ada di
Indonesiasebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan
dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia
digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa
Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi
dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]
Daftar isi
Masa lalu sebagai bahasa Melayu[sunting sumber]
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi
ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini
menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya
oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur
perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri
berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana
diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek
"o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang
secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah
kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau
Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan
tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam
perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih
luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau
Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan
dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena
serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan
masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam
masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang
merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga
ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam
prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut
berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang
dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini
artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung
Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah
Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang
akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa
istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di
sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga
penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu
Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa
Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku
Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera
misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya
berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa
Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam
perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga
muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa
yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai
rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan
Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai
dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik
mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang
sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur
etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan
menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan
dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia,
tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing,
Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa
Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari
abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna
yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan
bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari
cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena
ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk
pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang
dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay).
Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang
perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya
bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellandilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi
juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah
mulai masuknya kata-kata pinjaman daribahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai
masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab,
kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk,
dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh
Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan
masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata
untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu,
sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak,
polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga
lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka
yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata
Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan
sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada
abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada
abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa
yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini
melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan
bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun
bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di
kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga
menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa
Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai
sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu
(sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh
para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada
pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan
Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa
untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah
bahasa yang full-fledged, sama
tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah
dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan
terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat
Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu
Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman