Sabtu, 22 Maret 2014

Cerita anak "Tiga Wanita Penenun"

Tiga Wanita Penenun 

Dahulu kala ada seorang gadis yang sangat malas dan tidak pernah mau menenun kain, dan ibunya tidak pernah bisa membujuk gadis tersebut untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Akhirnya ibunya menjadi sangat marah dan kehilangan kesabaran dan mulai memukul anak gadisnya dengan keras. Pada saat itu Ratu yang kebetulan lewat, berhenti di depan rumah gadis tersebut karena mendengar gadis itu menangis. Ratu kemudian masuk ke dalam rumah dan bertanya apa yang terjadi pada gadis itu dan mengapa ibunya memukuli anak gadisnya sampai-sampai semua orang yang berada di jalan dapat mendengarkan gadis tersebut menangis.
Ibu gadis tersebut menjadi sangat malu untuk mengakui kemalasan anak gadisnya, sehingga dia berkata,
“Saya tidak bisa menghentikan dia menenun, dia selalu ingin mengerjakannya setiap waktu dan saya terlalu miskin sehingga tidak bisa menyediakan dia rami – bahan untuk ditenun yang cukup.”
Kemudian Ratu menjawab,
“Saya sangat senang mendengar suara roda alat pemintal, dan saya merasa senang mendengarkan mereka bersenandung, biarkanlah saya membawa putrimu ke istana, saya mempunyai banyak rami dan bahan tenung, di sana dia dapat memintal dengan hati gembira.”
Ibu gadis tersebut sangat senang mendengarkan tawaran itu, dan Ratu pun kemudian membawa gadis tersebut bersamanya. Ketika mereka mencapai istana, Ratu memperlihatkan tiga ruangan yang penuh dengan rami dan bahan tenun yang terbaik yang ada di kerajaannya.
“Sekarang kamu dapat menenun rami ini,” Katanya, “dan bila kamu berhasil menyelesaikannya, kamu akan saya nikahkan dengan putra tertua saya; kamu mungkin miskin tapi saya tidak akan memperdulikan hal itu, kain yang kamu buat dari rami ini cukup sebagai emas kawin,”
Gadis itu ketakutan dalam hati, karena dia sama sekali tidak dapat menenun, biarpun dia hidup seratus tahun dan duduk menenun setiap hari selama hidupnya dari pagi sampai malam. Dan ketika dia berada sendirian dia mulai menangis, dan duduk selama tiga hari tanpa menyentuh alat tenun. Pada hari ketiga, Ratu datang, dan ketika dia melihat tidak ada satupun tenunan yang selesai, dia lalu terkejut; tetapi gadis tersebut beralasan bahwa dia belum bisa mulai menenun karena dia masih bersedih akibat perpisahan dengan rumah dan ibunya. Alasan itu membuat Ratu menjadi tenang, tetapi ketika Ratu akan beranjak pergi, dia mengatakan “Besok pekerjaan kamu harus dimulai.”
Ketika gadis itu sendirian lagi, dia tidak dapat berbuat apa apa untuk menolong dirinya sendiri atau melakukan apapun yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam kebingungannya dia cuma keluar dan menatap keluar jendela. Saat itu dilihatnya tiga orang wanita lewat didepannya, dan wanita yang pertama memiliki kaki yang lebar dan rata, yang kedua mempunyai bibir yang tergantung turun sampai ke dagunya, dan yang ketiga memiliki ibu jari tangan yang sangat lebar. Mereka kemudian berhenti di depan jendela, dan mencoba bertanya apa saja yang gadis itu inginkan. Gadis itu menjelaskan apa yang dibutuhkannya, dan mereka berjanji akan membantunya, dan berkata,
“Kamu harus mengundang kami ke pesta pernikahanmu, dan tidak malu karena kehadiran kami, menyebut kami sebagai sanak keluarga dan sepupumu, dan diperbolehkan duduk satu meja dengan kamu; jika kamu berjanji akan memenuhi hal ini, kami akan menyelesaikan tenunan tersebut dalam waktu singkat.”
“Saya berjanji sepenuh hati,” jawab si gadis; “masuklah dan mulailah sekarang.”
Lalu ketiga wanita itu masuk, dan mereka membersihkan sedikit ruangan pada kamar pertama untuk mereka agar mereka dapat duduk dan menempatkan alat tenun mereka. Wanita yang pertama menarik keluar benang dan mulai menapakkan kakinya ke tuas yang memutar roda alat tenun, wanita yang kedua membasahi benang, dan wanita yang ketiga memilin dan meratakannya dengan ibu jarinya diatas meja, perlahan-lahan gulungan-gulungan benang yang indah berjatuhan diatas lantai, dan ini menghasilkan tenunan yang sangat indah. Gadis itu menyembunyikan ketiga wanita penenun itu dari pandangan mata sang Ratu sehingga setiap kali Ratu berkunjung, sang Ratu hanya melihat dia sendirian bersama tumpukan tenunan yang sangat indah; dan tidak terhingga pujian-pujian yang diterimanya dari Ratu. Ketika kamar pertama sudah kosong, mereka mulai menenun di kamar kedua, lalu ke kama ketiga sampai semua rami telah selesai di tenun. Lalu saat ketiga wanita penenun itu akan pergi, mereka berkata pada sang Gadis,
“Jangan lupa dengan apa yang kamu janjikan, dan semuanya akan menjadi lebih baik untuk kamu.”
Ketika sang Gadis memperlihatkan pada Ratu ruangan yang telah kosong, dan sejumlah besar tenunan, Ratu langsung mengatur pernikahan gadis itu dengan putranya yang tertua, dan mempelai pria itupun sangat senang karena mendapatkan calon istri yang sangat pandai dan rajin.
“Saya mempunyai tiga orang sepupu,” kata Gadis itu, “dan karena mereka sangat baik kepada saya, Saya tidak akan pernah lupa kepada mereka disaat saya mendapatkan keberuntungan; bisakah saya mengundang mereka datang ke pesta, dan meminta mereka duduk satu meja dengan kita?”
Ratu dan putra tertuanya yang akan menjadi calon suami berkata bersamaan,
“Kamu boleh mengundangnya datang, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengundangnya kesini,”
Ketika perjamuan dimulai, ketiga wanita penenun tersebut datang tanpa menyembunyikan keburukan rupa mereka, dan sang Gadis berkata,
“Sepupuku yang baik, selamat datang.”
“Oh,” kata mempelai pria, “bagaimana kamu bisa mempunyai sanak keluarga yang sangat buruk rupa?”
Kemudian dia menemui wanita penenun yang pertama dan bertanya kepadanya,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai kaki yang begitu lebar dan rata?”
“Saya selalu menapakkan kaki saya pada alat tenun,” katanya.
Ketika dia menemui wanita yang kedua dan bertanya,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai bibir yang bergantungan sampai ke dagumu?”
“Dengan menjilati benang.” katanya,
Dan kemudian dia bertanya kepada wanita yang ketiga,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai ibu jari yang sangat besar dan lebar?”
“Dengan memuntir dan memilin benang,” katanya.
Kemudian mempelai pria berkata bahwa semenjak saat itu, sang gadis yang menjadi istrinya ini harus berhenti untuk menenun dan jangan pernah menyentuh alat tenun lagi.
Dan begitulah akhirnya sang gadis lepas dari pekerjaan menenun yang melelahkan. 

Cerita anak "Dongeng Saudagar Jerami"

Dongeng Saudagar Jerami 

Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. “Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan”. “Tolonglah aku agar hidup senang”. Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. “Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia.”

Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. “Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?”, pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. “Wah menarik ya”, ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. “Aku ingin mainan itu.” Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. “Silakan ambil”, ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.

“Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk”, ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. “Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?”, tanya wanita tadi. “Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku”, kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. “Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali”. Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu.

Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. “Aduh, padahal kita sedang terburu-buru.” Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.
Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.

Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. “Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat,” pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,”Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?”. “Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar”, kata Taro.
“Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?”, Tanya si pemilik rumah. “Baik, Terima kasih Tuan”. Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.

Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan “Saudagar Jerami”. Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Cerita anak "Petani dan anakny"

Petani dan anaknya

Seorang petani tua kaya, merasa bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, memanggil anak-anak ke samping tempat tidurnya untuk memberikan kata-kata terakhir.
"Anak-anakku," katanya, "Dengarkan apa yang hendak saya katakan kepada kalian: Janganlah hanya menghitung seberapa luas lahan warisan kita. Di suatu tempat di perkebunan ini tersembunyi sebuah harta karun yang sangat berharga. Saya tidak tahu tempat yang tepat, tapi sudah ada, dan kalian pasti akan menemukannya. Pergunakan seluruh tenaga dan jangan sampai ada tempat yang terlewat dalam pencarian kalian. "??Sang ayah akhirnya meninggal, dan tidak lama setelah dia dikuburkan, kemudian anak-anaknya mulai bekerja menggali dengan sekuat tenaga mereka, membalik setiap jengkal tanah dengan sekop mereka, dan pergi ke seluruh tanah pertanian sampai dua atau tiga kali.??
Tidak ada emas tersembunyi yang mereka temukan, tetapi pada saat panen ketika mereka telah melakukan penghitungan dengan seksama dan telah mengantongi keuntungan yang jauh lebih besar dari salah satu tetangga mereka, mereka baru mengerti bahwa harta karun yang dikatakan oleh ayah mereka sebenarnya adalah kekayaan dari hasil panen tanaman yang melimpah, dan bahwa dari hasil kerajinan dan kerja keras mereka sendiri ternyata mereka telah menemukan harta karun itu.??

Moral dari kisah ini : Kerajinan itu sendiri adalah harta karun yang berharga.

Cerita anak "Gadis Gembala dan Penyapu cerobong"

Gadis Gembala dan Penyapu cerobong

Sebuah lemari pajangan berdiri di sudut ruang tamu. Lemari ini terbuat dari kayu ek. Usianya sudah sangat tua, sehingga warnanya telah menghitam. Dari atas ke bawah,dipenuhi ukiran bunga mawar, tuli, dan dedaunan. Dikanan-kirinya terdapat ukiran 2 kepala rusa dengan tanduknya yang bercabang-cabang. Tepat ditengahnya, terdapat sebuah ukiran laki-laki aneh yang berkaki kambing, mulutnya menyeringai, kepalanya bertanduk dan berjenggot sangat panjang. Anak-anak pemilik rumah menjuluki lelaki aneh itu dengan nama Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing.Gelarnya sangat panjang dan susah untuk diingat. Teman-temannya yang terbuat dari batu maupun kayu, tak ada yang memiliki gelar sekeren itu. Dia berdiri tepat di tengah-tengah lemari dan matanya selalu menatap ke arah meja dibawah cermin. Sebab, di atas meja tersebut berdiri sebuah boneka gembala dari porselen yang sangat cantik, gaunnya mengembang dengan bunga mawar yang tersemat di dadanya, sepatu dan topinya bersepuh emas, tangannya memegang sebuah tongkat gembala. Di sebelah patung gembala tersebut, berdiri sebuah patung penyapu cerobong yang juga terbuat dari porselen, patung pembersih cerobong ini bersih dan rapi, sebetulnya ia pantas untuk menjadi pangeran, walaupun seluruh tubuhnya hitam legam, wajahnya segar dan kemerahan. Mungkin pembuatnya keliru karena seharusnya wajah penyapu cerobong juga hitam, penyapu cerobong ini memiliki sebuah tangga kecil porselen di punggungnya. Dari dulu, ia dan gadis gembala berdiri berdekatan. Akhirnya mereka jatuh cinta dan mengucapkan janji setia. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi, keduanya masih muda juga sama-sama terbuatdari porselen, juga sama-sama mungil dan rapuh.Di dekat mereka berdiri sebuah patung lelaki cina tua yang besarnya 3 kali lipat dari mereka. Patung ini memiliki kepala yang dapat diangguk-anggukkan, patung ini mengaku behwa dia kakek si gadis gembala. Meskipun tak dapat membuktikannya, dia selalu bersikeras berkata bahwa ia adalah kakek si gadis gembala.Karena itu, saat Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing melamar gadis gembala, dia mengangguk setuju.

Kemudian patung tua itu berkata pada gadis gembala bahwa gadis gembala akan menjadi istri dari Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing. Namun gadis gembala menolak sebab Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing telah memiliki 11 istri dari porselen. Lalu patung tua itu berkata bahwa gadis gembala harus menikah dengan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing pada malam itu, dan mengangguk lalu tertidur.

Gadis gembala itu menangis, lalu menoleh kepada tunangannya, penyapu cerobong. Gadis gembala itupun langsung mengajak penyapu cerobong berkelana ke dunia luas. Penyapu cerobong itu setuju pada usul tunangannya. Namun, gadis gembala menjadi bingung sebab mana mungkin ia dan penyapu cerobong dapat turun dari meja tanpa cedera.

Dengan segera penyapu cerobong memberi contoh bagaimana menapakkan kaki pada ukiran sudut meja, lalu pada ukiran dedaunan yang melingkar sepanjang kaki meja, Dia juga membantunya dengan tangga kecilnya. Akhirnya mereka sampai di lantai. Tapi ketika menoleh melihat ke arah lemari pajangan, mereka melihat semuanya bergerak. Kepala menjulurkan lehernya sehingga tanduknya bertambah tinggi, dan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing meloncat-loncat dan memberi tahu patung tua bahwa mereka lari. Gadis gembala dan penyapu cerobong takut bukan main. Mereka meloncat ke dalam sebuah laci terbuka di bawah ambang jendela.

Di dalam laci tersebut terdapat kartu-kartu dan boneka-boneka. Mereka sedang bermain sandiwara yang mengisahkan dua orang yang saling cinta tapi tak dapat menikah. Gadis gembala itu terharu dan menangis karena kisah itu seperti kisahnya sendiri.

Karena tak tahan lagi maka gadis gembala mengajak penyapu cerobong pergi. Ketika telah sampai di lantai, mereka melihat ke arah meja, mereka melihat patung tua itu sudah bangun. Tubuhnya bergoyang-goyang karena marah. Karena mengetahui kakeknya mengejar mereka, gadis gembala jatuh terduduk dan terisak-isak.

Penyapu cerobong itu kemuadian menenangkan gadis gembala. Lalu mengajak gadis gembala bersembunyi di balik vas bunga besar di sudut ruangan. Namun gadis gembala itu menolak karena vas bunga besar itu adalah tunangan kakeknya. Maka gadis gembala itu memutuskan untuk berkelana di dunia luas. Namun penyapu cerobong berusaha mengingatkan gadis gembala bahwa jika sudah keluar, mereka tidak akan dapat ,kembali lagi karena dunia ini sangatlah luas. Namun gadis gembala itu sudah yakin akan keputusannya.
Lalu penyapu cerobong itu melihat kearah gadis gembala. Dilihatnya gadis itu memang sudah mantap, jadi ia Mengajak gadis gembala keluar melalui cerobong asap. Dibimbingnya gadis itu keluar melalui Lubang perapian. Gadis gtembala itupun mengeluh karena lubang cerobong itu sangat gelap namun, ia tetap masuk kedalam lubang perapian itu.

Dari dalam lubang perapian itu, penyapu cerobong menunjukkan sebuah bintang yang berkilauan di atas langit. Sinarnya masuk ke dalam cerobong asap, seolah menerangi jalan mereka. Mereka merambat naik pelan-pelan. pipa itu licin dan terasa seperti tak ada habisnya. Penyapu cerobong itu membantu gadisnya dengan hati-hati menunjukkan tempat-tempat dimana gadis itu dapat menapakkan kaki porselennya yang mungil. Akhirnya mereka tiba di tepi pipa cerobong dan beristirahat di sana.

Di langit, bintang-bintang bertaburan. Di bawah mereka atap-atap rumah. DAri tempat-tempat tinggi itu mereka bisa melihat jauh sekali. Gadis gembala itu tak menyangka bahwa dunia sangat luas. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu penyapu cerobong dan menangis tersedu-sedu karena takut.
Gadis gembala pun membujuk penyapu cerobong agar dapat mengantarnya kembali ke meja kecil di bawah cermin. Penyapu cerobong membujuknya, mengingatkannya pada kakeknya dan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing. Tapi si gadis menangis sedih sehingga akhirnya penyapu cerobong menyerah.

Dengan susah payah, mereka merambat menuruni pipa cerobong dan sampai ke perapian yang gelap. Mereka bersembunyi di belakang pintu sebentar dan mengintip ke dalam. Astaga, ternyata patung lelaki Cina tua itu terbaring di lantai. Ketika mengejar mereka, patung itu Meloncat dari meja. Lalu jatuh dan pecah menjadi 3. Kepalanya menggelinding ke sudut. Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing masih berdiri ditempatnya dan memikirkan apa yang terjadi.
Gadis gembala itu merasa karena salahnyalah kakeknya pecah. Dan penyapu cerobong itu menghiburnya dengan cara memberi tahu cara membetulkan kakeknya. Lalu, mereka naik ke atas meja dan berdiri lagi di tempat semula.

Akhirnya, Patung tua itu dibetulkan oleh pemilik rumah itu. Dia menjadi utuh kembali namun tak dapat menganggukkan kepalanya lagi. Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing bersyukur karena patung tua itu utuh kembali dan dapat merestui pernikahannya dengan gadis gembala. Namun patung tua itu diam saja. Akhirnya, patung tua itu membiarkan gadis gembala dan penyapu cerobong menikah dan saling mencintai hingga mereka hancur berkeping-keping.

Cerita anak "Gadis Penjual Korek Api"

Gadis Penjual Korek Api 

Di malam natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. "Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini." "Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak." Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu.Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, akan dipukuli oleh ayahnya. Ketika akan menyeberangi 'alan. Grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak lakilaki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus."
Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah.
Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, dan penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelipkelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi.
Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu, menghembus-hembuskan nafasnya ke tangan. Tetapi, sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding.
Crrrs Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah penghangat. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padaamtungku pemanaspun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan.
Di depan matanya, berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs!
Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi." Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi, cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak.
Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang beralih. "Wah, malam ini ada seseorang yang mati dan pergi ke tempat Tuhan,ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya." Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada Neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin la i. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud Nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.
"Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melompat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu' " Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek." Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. "Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..."
Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang harl. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahanlahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada."
Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, Ibumu yang menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya. Orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!"
Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, "Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah." Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin.

Cerita anak "Tukang Sepatu dan Liliput"

Tukang Sepatu dan Liliput 

Dahulu kala, disebuah kota tinggal seorang Kakek dan Nenek pembuat sepatu. Mereka sangat baik hati. Si kakek yang membuat sepatu sedangkan nenek yang menjualnya. Uang yang didapat dari setiap sepatu yang terjual selalu dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan dan disantap oleh orang-orang jompo yang miskin dan anak kecil yang sudah tidak mempunyai orangtua. Karena itu walau sudah membanting tulang, uang mereka selalu habis. Karena uang mereka sudah habis, dengan kulit bahan sepatu yang tersisa, kakek membuat sepatu berwarna merah. Kakek berkata kepada nenek, “Kalau sepatu ini terjual, kita bisa membeli makanan untuk Hari Raya nanti.Tak lama setelah itu, lewatlah seorang gadis kecil yang tak bersepatu di depan toko mereka. “Kasihan sekali gadis itu ! Ditengah cuaca dingin seperti ini tidak bersepatu. Akhirnya mereka memberikan sepatu berwarna merah tersebut kepada gadis kecil itu.
“Apa boleh buat, Tuhan pasti akan menolong kita, kata si kakek. Malam tiba, merekapun tertidur dengan nyenyaknya. Saat itu terjadi kejadian aneh. Dari hutan muncul kurcaci-kurcaci mengangkut kulit sepatu, membawanya ke rumah si kakek kemudian membuatnya menjadi sepasang sepatu yang sangat bagus. Ketika sudah selesai mereka kembali ke hutan.
Keesokan paginya kakek sangat terkejut melihat ada sepasang sepatu yang sangat hebat. Sepatu itu terjual dengan harga mahal. Dengan hasil penjualan sepatu itu mereka menyiapkan makanan dan banyak hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak kecil pada Hari Raya. “Ini semua rahmat dari Yang Maha Kuasa.
Malam berikutnya, terdengar suara-suara diruang kerja kakek. Kakek dan nenek lalu mengintip, dan melihat para kurcaci yang tidak mengenakan pakaian sedang membuat sepatu. “Wow, pekik si kakek. “Ternyata yang membuatkan sepatu untuk kita adalah para kurcaci itu. “Mereka pasti kedinginan karena tidak mengenakan pakaian, lanjut si nenek. “Aku akan membuatkan pakaian untuk mereka sebagai tanda terima kasih. Kemudian nenek memotongh kain, dan membuatkan baju untuk para kurcaci itu. Sedangkan kakek tidak tinggal diam. Ia pun membuatkan sepatu-sepatu mungil untup para kurcaci. Setelah selesai mereka menjajarkan sepatu dan aju para kurcaci di ruang kerjanya. Mereka juga menata meja makan, menyiapkan makanan dan kue yang lezat di atas meja.
Saat tengah malam, para kurcaci berdatangan. Betapa terkejutnya mereka melihat begitu banyaknya makanan dan hadiah di ruang kerja kakek. “Wow, pakaian yang indah !. Merek segera mengenakan pakaian dan sepatu yang sengaja telah disiapkan kakek dan nenek. Setelah selesai menyantap makanan, mereka menari-nari dengan riang gembira. Hari-hari berikutnya para kurcaci tidak pernah dating kembali.
Tetapi sejak saat itu, sepatu-sepatu yang dibuat Kakek selalu laris terjual. Sehingga walaupun mereka selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan anak yatim piatu, uang mereka masih tersisa untuk ditabung. Setelah kejadian itu semua, Kakek dan dan nenek hidup bahagia sampai akhir hayat mereka.

Cerita anak "Si Pelit"

Si Pelit 

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi."Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"

HIKMAHHarta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.

Cerita anak "Kakak Beradik "

Kakak Beradik 

Seorang anak laki-laki menarik tangan adik perempuannya dan berkata: "Lihat, kita tidak pernah merasakan kebahagiaan semenjak ibu kita meninggal. Ibu tiri kita selalu memukuli kita setiap hari, dan kita tidak berani berada di dekatnya karena dia selalu menendang kita untuk menjauh darinya. Kita tidak pernah dapat makanan yang baik kecuali remah-remah dan sisa-sisa roti. Seandainya saja ibu kita masih hidup dan tahu semua penderitaan kita ini! Mari ikutlah denganku, mari kita tinggalkan rumah ini."Lalu kakak beradik itupun meninggalkan rumah ibu tirinya, berjalan seharian penuh, dan saat hujan turun dengan deras adik perempuannya berkata: "Surga dan hati kita menangis bersama."
Menjelang malam, mereka tiba di sebuah hutan yang besar, dan mereka merasa sangat kelelahan dan kelaparan setelah berjalan jauh. Mereka menemukan satu celah di pohon yang berlubang dan masuk ke celah pohon tersebut dan jatuh tertidur dengan cepat.
Pagi harinya, ketika mereka bangun, matahari bersinar terang dan membawa kehangatan, kakaknya berkata:
"Saya sangat haus, adik kecilku; Jika saja saya bisa menemukan air sungai, saya akan meminumnya disana. Saya serasa mendengarkan aliran sungai di dekat sini." Dia lalu melompat bangun, menarik tangan adik perempuannya dan mencari-cari anak sungai tersebut.
Saat itu ibu tirinya yang sebenarnya adalah seorang penyihir, tahu bahwa kedua anak tirinya telah lari meninggalkan rumah. Dia kemudian diam-diam mengejar mereka. Ketika tahu bahwa mereka kehausan, dia lalu memberi mantra sihir pada semua aliran air yang ada di hutan.
Saat kakak beradik itu menemukan sebuah anak sungai yang bening, sang Kakak langsung ingin meminumnya, tetapi saat itu adik perempuannya mendengar bisikan: "Siapa yang meminumku akan berubah menjadi harimau! siapa yang meminumku akan berubah menjadi harimau!"
Sang adik langsung berteriak, "Kakak, janganlah meminumnya, karena kamu akan berubah menjadi harimau dan akan menerkamku nanti." Sang kakak walaupun merasa kehausan, tidak jadi meminumnya. "Baiklah," katanya, "Kita akan mencari mata air yang lain saja."
Ketika mereka menemukan mata air sungai yang kedua, sang adik mendengarkan suara berbisik: "Siapa yang meminumku akan menjadi serigala, siapa yang meminumku akan menjadi serigala!" dan sang adik langsung berteriak, "Kakak, jangan meminum air disini, karena kamu akan berubah menjadi serigala dan menerkamku." Kembali sang kakak tidak jadi meminumnya dan berkata: "Baiklah, saya masih bisa menahan rasa hausku sampai bertemu dengan mata air yang ketiga."
Dan ketika mereka menemukan mata air sungai yang ketiga, sang adik mendengar bisikan: "Siapa yang meminumku akan berubah menjadi rusa! siapa yang meminumku akan menjadi rusa!" Lalu sang adik memohon, "Kakak, janganlah minum dulu di sini, atau kamu akan berubah menjadi rusa dan lari dariku." Tetapi sang kakak yang sudah sangat kehausan sudah berlutut dan meminum airnya, dan begitu bibirnya menyentuh air sungai itu, dia kemudian langsung berubah menjadi seekor rusa kecil.
Adik perempuan dan kakak yang berubah menjadi rusaSang adik perempuan menangis melihat kakaknya yang telah disihir, begitu pula kakaknya yang telah berubah menjadi rusa ikut menangis di pangkuannya. Akhirnya sang adik berkata: "Tak apa, saya tidak akan meninggalkan kamu sendirian," kemudian dia mengambil sabuk emas miliknya dan mengikatnya di sekeliling leher rusa itu. Lalu dia mengambil selendangnya dan menjadikannya tali yang diikatkan ke sabuk yang melingkar di leher sang rusa. Dia kemudian berjalan bersama sang rusa hingga makin jauh masuk ke dalam hutan, dimana akhirnya mereka menemukan rumah yang kosong dan tidak dihuni lagi. Sang adik memutuskan untuk bermalam dan tinggal di sana bersama sang Rusa.
Setelah beberapa tahun lamanya hidup di hutan ini, suatu hari Raja masuk ke hutan tersebut untuk berburu, sehingga hutan tersebut di penuhi dengan derap-derap kaki kuda, tiupan terompet dari tanduk, dan gonggongan anjing pemburu serta teriakan-teriakan pemburu. Mendengar terompet berburu, sang Rusa menjadi gelisah dan ingin keluar dari rumah itu.
"Ah!" katanya kepada adik perempuannya, "Biarkan saya keluar! saya tidak tahan mendengar terompet itu." Dia terus memohon hingga adik perempuannya menyetujuinya dengan sedih hati. "Tetapi," katanya, "kamu harus kembali sebelum malam. Saya akan mengunci pintu saya karena takut pada pemburu tersebut, jadi untuk mengetahui yang datang itu adalah kamu atau bukan, ketuklah pintuku dan katakan, "Adik tersayang, bukalah pintu, saya ada di luar sini." "Jika kamu tidak berkata apa-apa, saya tidak akan membukakan kamu pintu."Akhirnya sang Rusa setuju dan berlari keluar di alam bebas.
Secepatnya Raja dan pemburu-pemburunya melihat rusa yang indah itu dan melakukan pengejaran, tetapi mereka tidak pernah dapat mengejar dan menemukannya. Saat malam tiba, sang Rusa pulang ke rumah dan mengetuk pintu sambil berkata: "Adik tersayang, bukalah pintu, saya ada di luar sini." Kemudian pintu terbuka dan sang Rusa lalu beristirahat di dalam rumah tersebut.
Keesokan hari ketika perburuan di mulai kembali, dan mendengar terompet di tiupkan, sang Rusa kembali meminta agar adik perempuannya membiarkan dia keluar. Seperti hari kemarin, adiknya membiarkan dia keluar dari rumah dengan sedih.
Saat Raja berburu kembali, dia dan pemburunya melihat sang Rusa dengan sabuk emas di lehernya, dan mulai mengejarnya kembali, hampir seharian penuh mereka mengejar rusa tersebut dan akhirnya sang Rusa terkepung dan sedikit terluka di kaki sehingga sang Rusa tidak dapat berlari kencang lagi. Para pemburu yang mengepung rusa tersebut melihat sang Rusa lari ke sebuah rumah dan mengetuk pintu dan berkata: "Adik tersayang, bukalah pintu, saya ada di luar sini." Pemburu melihat kejadian itu dan melaporkan kepada Raja apa saja yang dilihat mereka. "Esok hari kita akan berburu lagi." kata sang Raja.
Sang Adik saat membuka pintu dan melihat sang Rusa terluka menjadi sangat ketakutan dan bersedih. Dia lalu membersihkan luka dan membalut luka itu dengan ramuan dari daun-daunan. Setelah itu dia berkata, "Pergilah beristirahat agar kamu cepat sembuh."
Keesokan harinya, luka di kaki sang Rusa mulai membaik dan sang Rusa meminta kembali agar diijinkan keluar, "Saya harus keluar, saya akan berhati-hati agar mereka tidak menangkap saya." kata sang Rusa. Sang Adik menangis dan berkata, "Mereka pasti akan menangkapmu kali ini, dan saya akan mejadi sendirian di hutan ini. Saya tidak dapat membiarkan kamu keluar." Sang Rusa membalas, "Kalau begitu, mungkin saya akan meninggal karena bersedih di sini." Akhirnya sang Adik membiarkan sang Rusa keluar dengan hati yang berat.
Saat sang Raja berburu dan melihat Rusa itu, dia berkata kepada pemburunya, "Sekarang kejar dan tangkaplah rusa itu, tetapi jangan sampai melukainya." dan para pemburunya berhasil menangkap sang Rusa. Ketika hari menjelang malam, sang Raja berkata kepada para pemburunya: "Sekarang tunjukkanlah saya dimana rumah kecil di tengah hutan yang kamu lihat itu." Dan mereka bersama-sama pergi ke rumah kecil itu dan sang Raja lalu mengetuk pintu dan berkata, "Adik tersayang, bukalah pintu, saya ada di luar sini." Ketika pintu terbuka, sang Raja melihat seorang gadis yang sangat cantik berdiri di dalam rumah itu.
Sang gadis yang merupakan adik dari sang Rusa menjadi terkejut karena bukan sang Rusa yang mengetuk pintunya, melainkan sang Raja sendiri. Dan Raja tersebut dengan ramah memegang tangannya dan berkata, "Maukah kamu ikut bersamaku ke istana?", "Ya, tetapi saya tidak dapat meninggalkan rusa ku sendirian di sini." Sang Raja lalu berkata, "Rusamu boleh ikut kemanapun kamu pergi." dan saat itu sang Rusa di lepas oleh para pemburu dan berlari ke arah adik perempuannya.
Akhirnya sang Raja membawa sang Gadis beserta rusanya ke istana, dan tidak berapa lama kemudian sang Raja menikahi gadis tersebut.
Saat ibu tiri dari kakak beradik mendengar kabar tersebut, hatinya menjadi dengki dan putrinya kandungnya yang memiliki mata cuma satu, mendatanginya dan berkata, "Saya seharusnya yang mendapatkan keberuntungan dan menjadi Ratu." "Tenanglah," kata sang Ibu tiri, "Kamu akan mendapatkannya ketika saatnya telah tiba,"
Tiba suatu saat ketika Raja sedang berburu di hutan, sang Adik yang telah menjadi Ratu melahirkan seorang anak laki-laki, Ibu tiri yang penyihir menjalankan rencananya, dengan menyamar menjadi seorang pelayan, dia memberi racun sihir pada sang Ratu dan sang Ratu pun lenyap terkena racun sihir itu. Kemudian ibu tiri itu dengan cepat mendandani anak gadisnya dengan sihirnya agar sama seperti sang Ratu. Tetapi walaupun ibu tiri itu mempunyai sihir, dia tidak dapat menyamarkan mata putrinya yang hanya satu itu dan mencari alasan yang baik agar raja tidak menyadari perbedaannya.
Sang Raja menjadi sangat gembira mendengar bahwa sang Ratu telah melahirkan anak laki-laki, saat dia ingin menjenguk sang Ratu, Ibu tiri yang menyamar menjadi pelayan berpesan kepada Raja agar tidak membiarkan sinar mengenai mata dan tidak membuka tirai jendela atau menyalakan lilin yang terang di dalam kamar, karena sang Ratu masih lemah. Raja tidak pernah menyadari bahwa yang selalu di temui itu bukanlah sang Ratu yang asli.
Setelah kejadian itu, di ruangan di mana bayi itu ditidurkan, perawat yang menjaga bayi sering melihat pintu kamar tersebut dibuka oleh seorang wanita yang mirip sekali dengan Ratu. dan dengan perlahan-lahan orang yang mirip Ratu itu mengangkat sang bayi dari buaian, menggendongnya, menidurkannya kembali, lalu pergi ke sudut kamar bayi, dimana sang Rusa selalu berbaring, mengelus punggung sang Rusa, dan diam-diam kembali keluar dari kamar tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kejadian tersebut berulang terus menerus dan setiap kali perawat yang menjaga bayi tersebut bertanya ke penjaga pintu, mereka selalu mengatakan tidak melihat satu orang pun masuk ke dalam ruangan itu. Karena ketakutan, perawat tersebut tidak pernah menyampaikan apa yang dilihatnya kepada siapapun.
Suatu malam, kejadian tersebut terulang kembali, tetapi kali ini orang yang mirip dengan Ratu tersebut bertanya kepada sang perawat: "Apakah anakku baik-baik saja? Apakah Rusaku baik-baik saja? Saya akan datang dua kali lagi lalu mengucapkan selamat tinggal." Perawat yang ketakutan, tidak menjawab apa-apa dan setelah kepergian sang Ratu yang asli itu, dia lalu melaporkan hal tersebut pada Raja. Raja lalu terkejut dan berkata, "Apa yang kamu katakan itu? saya akan ikut melihat dan mengawasi kamar tidur anakku nanti malam."
Ketika malam tiba, sang Ratu yang asli muncul kembali dan bertanya kepada sang perawat: "Apakah anakku baik-baik saja? Apakah Rusaku baik-baik saja? Saya akan datang sekali lagi lalu mengucapkan selamat tinggal." Saat itu Raja yang bersembunyi di kamar tersebut, tidak keluar dari persembunyiannya, dan tidak mengucapkan apa-apa.
Dihari berikutnya sang Raja ikut kembali mengawasi kamar tidur anak bayinya, dan ketika sang Ratu yang asli datang dan berkata: "Apakah anakku baik-baik saja? Apakah Rusaku baik-baik saja? Saya datang kali ini untuk mengucapkan selamat tinggal." Sang Raja tidak dapat menahan dirinya lagi dan melompat keluar dari persembunyiannya dan berkata, "Kamu adalah istriku yang tercinta!"
"Ya," kata sang Ratu, "Saya adalah istrimu!" saat itu sihir yang mengikat sang Ratu menjadi musnah, sang Ratu menjadi pulih seperti sedia kala seperti tidak pernah mengalami hal apapun. Kemudian sang Ratupun menceritakan semua kisahnya dan betapa kejamnya perlakuan ibu tirinya. Raja langsung menangkap sang Ibu tiri dan anaknya serta menghukum mereka. Setelah ibu tiri yang penyihir itu mendapatkan hukumannya, sihir yang mengikat sang Rusa akhirnya menjadi musnah juga, dan sang Rusa kembali ke bentuk manusia kembali. Akhirnya kakak beradik tersebut dapat hidup dengan bahagia selama-lamanya.

Cerita anak "Orang Tua dan Setan"

Orang Tua dan Setan 

Dahulu kala ada seorang laki-laki tua yang mempunyai benjolan besar di sebelah kanan wajahnya. Suatu hari dia pergi ke gunung untuk memotong kayu, ketika hujan mulai turun dan angin bertiup sangat kencang, dia merasa tidak mungkin untuk pulang ke rumah, dengan ketakutan, dia mengambil tempat perlindungan di dalam rongga sebuah pohon tua. Ketika duduk meringkuk dan tak dapat tidur, dia mendengar bunyi banyak suara yang membingungkan di kejauhan yang perlahan-lahan mendekat ke arah mana dia berada. Dia berkata kepada sendiri: “Aneh sekali!” Saya menyangka saya seorang diri saja di gunung ini, tetapi saya mendengar suara banyak orang disini.” Oleh sebab itu, dengan sedikit keberanian, dia mengintip, dan melihat kerumunan besar dari orang-orang yang kelihatan aneh. Ada yang berwarna merah, dan berpakaian hijau; yang lainnya berwarna hitam dan berpakaian merah; ada yang hanya memiliki satu mata; sedangkan yang lain tidak mempunyai mulut; memang, sangat tidak mungkin untuk menggambarkan berbagai macam bentuk dan keanehan mereka. Mereka menyalakan api, sehingga menjadi sangat terang seperti di siang hari. Mereka duduk dalam dua barisan yang melintang, dan mulai meminum anggur dan bergembira seperti manusia. Mereka mengedarkan cangkir minuman anggur begitu sering sehingga banyak dari mereka kelihatannya minum terlalu banyak. Salah satu setan muda bangun dan mulai menyanyikan lagu gembira dan menari; begitu juga dengan yang lainnya; beberapa dapat menari dengan baik dan yang lainnya menari dengan sangat buruk. Salah satunya berkata : “Kita sudah menikmati kesenangan yang luar biasa malam ini, tetapi saya lebih suka melihat hal-hal yang baru.”

Lalu orang tua itu, hilang rasa takutnya, berpikir bahwa dia juga ingin menari, dan berkata, “Apa yang akan terjadi, terjadilah, bila karena hal ini saya harus meninggal, saya harus tetap akan menari juga,” Dia menyelinap keluar dari rongga pohon dan, dengan penutup kepala yang diselipkan menutupi hidungnya dan kapak yang tergantung di pinggangnya, dia mulai menari. Setan-setan itu terlonjak kaget dan berkata, “Siapa ini?” tetapi orang tua itu berayun maju mundur, ke kiri dan ke kanan, semua kerumunan tersebut tertawa dan menikmati tarian yang dibawakan oleh orang tua itu, dan berkata: “Orang tua itu menari dengan sangat bagus! Kamu harus selalu datang dan menemani kami menari disini, tetapi, kami takut kamu mungkin tidak akan datang, jadi kamu harus memberi kami jaminan bahwa kamu akan datang.” Jadi setan-setan tersebut mulai berunding sesamanya, dan, setuju bahwa benjolan di wajah orang tua itu adalah kekayaan yang pasti sangat tinggi nilainya, dan menuntut untuk diambil sebagai jaminan. Orang tua itu membalas berkata: “Saya memiliki benjolan ini selama bertahun-tahun, dan saya tidak memiliki alasan untuk berpisah dengan benjolan ini, tetapi kamu bisa mengambilnya, atau sebuah mataku, hidung atau apapun yang kamu inginkan.” Lalu setan tersebut memegang benjolan tersebut, memutar dan menariknya, mengambilnya tanpa menimbulkan rasa sakit sedikitpun, dan menyimpannya sebagai jaminan bahwa orang tua itu akan kembali. Ketika hari mulai fajar, burung-burung mulai bernyanyi, setan-setan tersebut terburu-buru untuk pergi.
Orang tua itu meraba wajahnya dan menemukan bahwa wajahnya menjadi mulus tanpa ada benjolan besar lagi di wajahnya. Dia lupa akan kayu yang dipotongnya dan terburu-buru untuk pulang. Istrinya, begitu melihat dia, berteriak kegirangan dan berkata, “Apa yang terjadi denganmu?” Lalu orang tua itu menceritakan semua kisah yang terjadi padanya.

Saat itu, diantara tetangganya, ada orang tua juga yang memiliki benjolan di sebelah kiri wajahnya. Mendengan bahwa orang tua yang pertama tadi berhasil menyingkirkan kesialannya, dia berencana untuk melakukan hal yang sama, Lalu dia berangkat ke gunung dan menyelinap ke rongga pohon yang disebutkan oleh orang tua pertama dan menunggu hingga setan-setan tersebut muncul. Dengan keyakinan penuh, setan-setan tersebut datang seperti yang dikatakan, dan mereka mulai duduk, meminum anggur dan bergembira seperti sebelumnya. Orang tua yang kedua ini, ketakutan dan mulai gemetar, menyelinap keluar dari rongga pohon. Setan-setan tersebut menyambut kedatangannya dan berkata: “Orang tua ini telah datang, mari kita lihat dia menari.” Tetapi orang tua yang satu ini sangat kaku dan menari tidak sebaik orang tua yang pertama, sehingga setan-setan itu berteriak: “Tarian kamu sangat jelek dan bertambah buruk dan buruk, kami akan memberikan kamu kembali benjolan yang kami ambil sebagai jaminan.” Saat itu, setan yang membawa benjolan tersebut menempelkannya pada sisi wajah kanan si orang tua itu; orang tua yang sial itu akhirnya pulang kerumah dengan benjolan pada kedua sisi wajahnya.

Cerita anak "Putri Bulan"

Putri Bulan 

Suatu hari, salah satu teman Hou I menceritakan tentang “Pil Abadi” Hou I langsung mengirim utusannya untuk mendapatkan pil tersebut untuknya dari Ratu Barat.Sang Ratu tinggal sendirian di atas sebuah gunung yang tinggi. Dia sangat jelek, giginya panjang dan tajam seperti harimau, dia juga memiliki sembilan buah ekor. Dia menghabiskan waktu membuat obat dari rumput, daun dan bunga. Pada awalnya, dia tidak ingin memberikan pil itu pada hamba Hou I. Ketika ia mengatakan siapa tuannya itu, ia menjadi takut. Dia cepat menyerahkan pil tersebut kepadanya.
“Katakan pada majikanmu bahwa pil ini sangat kuat?” Katanya. “Dia tidak boleh memakannya pada saat bulan purnama. Jika dia melakukannya, dia akan terbang langsung ke bulan.”
Hou I sangat senang mendapatkan pil tersebut. Istrinya menyimpannya di sebuah lemari di kamarnya. Suatu malam, saat dia menatap bulan purnama, ia tiba-tiba memutuskan untuk memakan pil tersebut. Tubuhnya terasa menjadi ringan dan injakannya meninggalkan tanah. Dia mulai mengambang di langit menuju bulan.
Ketika suaminya melihat kejadian tersebut, ia mencoba untuk menjatuhkannya dengan busur dan anak panah. Tapi dia sudah terlalu tinggi. Dalam waktu singkat, dia mendarat di bulan. Dia merasa sangat dingin dan kesepian. Dia pun memikirkan suaminya setiap hari dan ingin kembali padanya. Tapi tidak ada jalan bagi dia untuk melakukannya. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah kecil di mana dia tinggal sendirian.

Cerita anak "Kesombongan Luwing"

Kesombongan Luwing

Dahulu luwing adalah binatang yang kecil dan panjang dan dapat berlari kencang. Dia dapat mengejar matahari sampai matahari terbenam. Karena larinya sangat kencang maka tidak ada satupun binatang yang berani kepadanya. Bahkan manusia juga menghormati luwing. Setiap hari ia menantang setiap binatang untuk berlomba berlari.
Tetapi siapapun yang berani menjawab tantangan sang luwing maka tak urung ia juga kalah pula. Ia terus mencari musuh yang mau bertanding dengannya.
Ke sana-kemari sering pulang tangan kosong karena tidak ada yang memberanikan diri.Anak-anak luwing semakin sombong walau badan mereka kecil. Semakin lama masyarakat luwing semakin berani dengan binatang lain. Bahkan luwing sempat menantang penguasa alam semesta.
Binatang lain sangat khawatir jangan-jangan penguasa alam murka. Sedangkan kesombongan para luwing itu membuatnya sangat kesepian karena tidak ada yang berani bersahabat dengan mereka. Kesombongan itu semakin memuncak dimana mereka mulai sering mengganggu binatang lainnya.
Pada suatu hari luwing membuat gempar seluruh penghuni hutan. Karena ia hendak mengajak burung hantu untuk berlomba. Karena sudah tahu kecepatan luwing maka burung hantu hendak menolak secara halus permintaan luwing untuk bertanding.
Dia takut akan tersinggung jika ia menjawab dengan apa adanya. Akan tetapi dasar luwing memang sombong dan merasa dirinya jago, maka keramahan burung hantu dianggap suatu penghinaan baginya.
“Kamu menghina saya ya?” tanya luwing dengan kasar.
“Aku tidak menghinamu, tetapi sekarang aku sedang tidak enak badan,” kata burung hantu.
“Kamu bohong, mukamu tidak pucat,” getar luwing.
Sesungguhnya burung hantu memang tidak enak badan. Ia juga merasa percuma karena nantinya juga tetap kalah.
“Hanya kamu yang belum pernah bertanding”, kata luwing. Burung hantu tidak tahu harus mengatakan apa agar luwing bisa mengerti.
Karena burung hantu tidak mau juga, luwing hilang kesabarannya maka ia mengambil minyak lampu dan mengoleskan di mata burung hantu. Burung hantu kesakitan, luwing pun pergi meninggalkanya.
Sambil pergi meninggalkan burung hantu yang kesakitan, luwing bersumpah, “Hai burung hantu, kamu tidak akan bisa melihat disiang hari, matamu hanya dapat melihat di malam hari!”
Itulah sebabnya burung hantu sulit melihat pada siang hari. Dengan cepat tersebarlah kabar penganiayaan luwing pada burung hantu. Binatang lain merasa kasihan melihat burung hantu yang terus kesakitan. Saat itu burung hantu bersumpah akan memakan luwing jika ia melihat luwing beserta anak cucunya di malam hari. Sejak saat itu burung hantu dan luwing tidak pernah bertemu.
Karena dianggap keterlaluan perbuatan si luwing maka berkumpullah binatang hutan yang ada. Mereka bermusyawarah untuk mencegah luwing agar tidak melakukan perbuatan keji lagi kepada binatang lainnya. Hasil musyawarah itu adalah binatang penghuni hutan meminta kepada penguasa alam menghukum luwing agar tidak terlalu sombong.
Mendengar keputusan binatang penghuni hutan, luwing marah sekali. Dia mendatangi binatang yang hadir dalam pertemuan musyawarah itu dengan satu persatu dan memarahi mereka.
Disamping itu luwing juga balik menyampaikan undangan agar para binatang tadi berkumpul kembali. Karena pertemuan mereka kemarin dianggap tidak sah.
Maka berkumpullah semua binatang di sebuah lapangan yang sangat luas. Anak-anak dan cucu luwing nampak mondar-mandir sambil mengejek binatang lain yang hadir dalam pertemuan itu. Gajah, babi hutan, harimau, kucing, tikus, tupai, kelinci, rusa dan lainnya juga berkumpul.
Mereka tidak berani untuk tidak datang dalam pertemuan ini karena mereka takut jika luwing akan memporak-porandakan rumah mereka.
Mereka seluruh penghuni hutan itu hanya bisa menuruti saja apa kata masyarakat luwing karena didasari perasaan takut. Tidak lama kemudian dihadapan mereka muncul induk luwing di atas mimbar putih dan berpidato.
“Saya mau menyampaikan kesan saya terhadap keputusan penghuni hutan yang telah mengutuk saya. Perlu diketahui, tidak akan ada yang berani menghukum saya. Sayalah yang terhebat dimuka bumi ini. Kalian harus mengerti!”
Suasana yang tadinya riuh setelah kehadiran induk luwing di atas mimbar menjadi sangat menegang. Mereka tercekam rasa takut karena sudah tiada perlindungan bagi mereka jika sang penguasa alam benar-benar telah ditaklukkan luwing.
Induk luwing hendak menambah pidatonya, tiba-tiba ada anaknya yang menjerit. Para binatang lainnya semakin ketakutan.
“Siapa yang berani menganggu anak saya?” induk luwing membentak.
“Tidak tahu mak!” jawab anak-anak luwing. Induknya geram memandang binatang hutan satu persatu. Dia mengancam akan menghukum mereka karena anak-anak mereka kesakitan. Induk luwing merasa ada yang aneh kejadian ini. Anaknya juga merasa heran karena seperti ada kekuatan yang mempengaruhi mereka. Binatang yang hadir waktu itu semakin ketakutan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah diselidiki induk luwing heran karena kaki anak cucunya tambah banyak. “Pasti ada yang usil”, pikir induk luwing.
Induk luwing bermaksud segera mendekati para binatang lain dan mau mencari kepastian penyebab hal itu. Dia mengira ada tangan jahil binatang lain yang mengganggu agar konsentrasi rapat itu bisa buyar. Ia dengan kemarahan yang meluap segera turun dari mimbar.
Tiba-tiba dia terjatuh, “Aduh………..sakiit!” serunya.
Binatang lain heran dan semakin takut karena induk luwing tersungkur di pojok mimbar batu putih yang tinggi itu. Tidak lama kemudian mereka pun tertawa meski terheran-heran.
Mendengar ada yang berani tertawa, induk luwing semakin marah. Hatinya panas, dia ingin segera menghukum binatang yang hadir saat itu. Diapun bangkit akan lari.
Tetapi dia sudah tidak dapat lari kencang. Dia terkejut melihat kakinya sendiri yang menjadi banyak itu. Muka pucat pasi. Seperti tidak berdarah lagi. Sadarlah luwing-luwing itu kini.
Ia tidak lagi bisa berlari kencang karena kakinya banyak. Dengan perasaan malu dia meminta ampun kepada penguasa alam semesta. Sementara itu binatang lain meninggalkan keluarga luwing. Keluarga luwing merasa malu sekali.
Demikianlah, permohonan penghuni hutan kepada Sang Maha Pencipta telah menjadi nyata. Dengan malu sekali masyarakat luwing merangkak menuju hutan dan mereka berjalan pelan di bawah daun-daun yang rimbun.

Cerita anak "Legenda Telaga Pasir "

Legenda Telaga Pasir 

Telaga Pasir atau lebih dikenal Telaga Sarangan merupakan salah satu objek wisata air yang terkenal di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga ini memiliki luas sekitar 30 hektar dengan kedalaman mencapai 30 meter. Menurut cerita rakyat Indonesia setempat, mulanya telaga ini sebuah ladang milik Kyai Pasir. Lalu, suatu peristiwa menyebabkan ladang ini menjadi telaga. Peristiwa apakah itu?***
Di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka orang miskin yang kerjanya sehari-hari menggarap ladang. Ya, itu sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, walaupun pas-pasan.
Suatu hari, ketika menggarap ladang, mata Kyai Pasir menatap sebuah telur besar yang teronggok di bawah pepohonan. Melihat hal tersebut, Kyai Pasir mencoba menghampirinya.
"Telur apa ini ya?" gumam Kyai Pasir terheran-heran. Kyai Pasir menjumputnya lalu mengamatinya dengan seksama.
"Apa mungkin ini telur ayam. Mana mungkin ayam berkeliaran di sekitar sini?" Kyai Pasir bertanya-tanya. "Ah, bodo ah. Mau telur apa kek, yang penting telur ini enak untuk dijadikan lauk untukku dan istriku."
Maka, Kyai Pasir segera pulang ke rumah untuk istirahat karena hari sudah siang sekaligus memberikan telur yang didapatnya supaya dimasak oleh istrinya.
"Bu, tolong masak telur ini," kata Kyai Pasir sesampainya di rumah.
"Telur apa ini, Pak? Besar sekali..." tanyat Nyai Pasir.
"Sudahlah, Bu, tidak perlu kau pikirkan. Yang jelas itu telur bisa buat makan kita siang ini. Lekaslah, perutku sudah keroncongan."
Nyai Pasir segera memasak telur tersebut. Setelah matang telur tersebut dibagi dua sama rata-rata. Suami istri itu masing-masing mendapat separuh-separuh. Usai istirahat dan makan siang, tubuh Kyai Pasir kembali bertenaga. Ia pamit pada istrinya untuk bekerja.
Di tengah perjalanan, Kyai Pasir mengelus-elus perutnya. Tampaknya, ia masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi. Hanya saja, saat sampai di ladang, tiba-tiba sekujur tubuh Kyai Pasir terasa sakit, panas, dan kaku. Kyai Pasir bingung apa yang tengah terjadi pada dirinya. Matanya pun mulai berkunang-kunang.
"Duh, kenapa tubuhku ini?" erang Kyai Pasir.
Saking sakitnya, Kyai Pasir rebah ke tanah dan berguling-guling ke sana ke mari. Selang beberapa waktu berikutnya, dari tubuh Kyai Pasir mulai tumbuh sisik, sementara mulutnya mulai maju. Kyai Pasir berubah menjadi ular naga.
Di waktu yang berbarengan, Nyai Pasir juga mengalami hal yang sama. Ia mengeluhkan tubuhnya sakit. Maka, ia pergi ke ladang dan di saat itu ia melihat seekor naga yang mengerikan. Tepat saat itu, Nyai Pasir juga berubah menjadi ular naga. Ternyata telur yang mereka makan adalah telur naga.
Kedua naga itu mengais-ngais tanah, sehingga tanah di sekitar berserakan dan membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-lama, cekungan tanah itu makin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang amat deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi telaga.
Masyarakat setempat menamakan telaga itu Telaga Pasir, yang mengambil nama dari Kyai dan Nyai Pasir. Dan karena lokasinya berada di Kelurahan Sarangan, telaga ini juga dikenal dengan Telaga Sarangan.
***
Begitulah legenda Telaga Pasir ini saya kisahkan kembali. Cerita rakyat Indonesia ini masih digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya Magetan. Pesan moral yang bisa dipetik dari kisah ini yaitu hendaklah kita berhati-hati sebelum mengambil sesuatu yang belum jelas asal-usulnya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Saat ini, Telaga Pasir atau Telaga Sarangan ini menjadi obyek wisata andalan Kabupaten Magetan. Apabila hendak membaca kumpulan cerita rakyat Indonesia lainnya, silakan pilih di bagian kategori.

Cerita anak "Asal-Usul Gasing "

Asal-Usul Gasing 

Suatu hari seorang Putra Kahyangan turun ke Bumi, ketika ia melihat anak-anak manusia tengah memainkan sepotong kayu yang bisa berputar-putar di halaman rumah anak manusia tersebut. Si Putra Kahyangan senang melihat permainan itu, sepotong kayu dengan ujung runcing di bagian bawah dilempar oleh sehelai benang hingga kemudian berputar-putar.Lantaran, tertarik dengan benda itu, Si Putra Kahyangan mengajak Si Anak Manusia ke rumahnya, yaitu kahyangan. Ia meminta Si Anak Manusia memainkan benda itu di hadapan Anak-anak Kahyangan lainnya. Si Anak Manusia senang melakukan apa yang dimaui oleh Si Putra Kahyangan. Ketika Si Anak Manusia melakukannya, hal tersebut memunculkan decak kagum di antara Anak-anak Kahyangan lainnya.
Kemudian, Si Anak Manusia dijamu oleh Anak-anak Kahyangan dengan makanan yang belum pernah dimakannya, karena tidak ada di Bumi. Giliran Si Anak Manusia yang heran dengan makanan yang disantapnya. Ia belum pernah memakan makanan yang bentuknya seperti ulat, putih bersinar, dan enak.
“Apa kamu menyukai makanan kami?” tanya Si Anak Kahyangan.
Si Anak Manusia mengangguk-angguk.
“Kalau begitu, nanti aku bawakan makanan ini ke Bumi, tapi dengan syarat, kamu harus selalu memainkan benda yang kamu mainkan itu di Bumi.”
“Oh, benda ini nama gasing,” sahut Si Anak Manusia.
***
Kemudian, Si Anak Kahyangan mengantarkan Si Anak Manusia pulang ke Bumi. Sesuai kesepakatan, Si Anak Manusia selalu memainkan gasing setiap hari. Si Anak Kahyangan membawa satu butir biji padi turun ke Bumi, yang disembunyikan di dalam tubuhnya karena takut ketahuan orangtuanya. Kalau sampai ketahuan, ia bisa dimarahi. Si Anak Kahyangan meminta Si Anak Manusia untuk menanam biji padi itu. Si Anak Manusia menuruti apa yang diperintahkan kepadanya.
Lambat namun pasti, mulai tampak pertumbuhannya, hingga biji yang ditanam dan telah jadi tumbuhan itu layak diambil dan dimakan. Satu biji dapat menghasilkan banyak bulir biji lainnya berlipat ganda. Sejak itulah, biji padi dikenal oleh manusia sebagai makanan pokok yang mengenyangkan dan tahan lama.
Gasing pun terus dimainkan, terutama ketika musim bertanam padi hingga masa panen. Masyarakat Dayak pun memainkan gasing terus menerus untuk mengingat tanaman padi yang turun dari kahyangan.

Cerita anak "Harta Terpendam"

Harta Terpendam

Di daerah Klungkung, Bali, pernah hidup seorang duda kaya raya yang memiliki lima orang anak. Duda ini dalam keadaan sekarat, dan ia berwasiat kepada kelima anaknya, yang suka hidup berfoya-foya hingga harta ayah mereka habis. Tinggal sebuah sawah dan sebuah ladang saja."Tampaknya waktu ayah sudah tidak lama lagi. Ayah tidak bisa mewasiatkan apa-apa, kecuali harta yang sudah ayah simpan di bawah sawah dan ladang. Kalian harus menemukan harta tersebut dan membaginya secara adil," kata sang duda. Untuk lebih meyakinkan mereka, sang duda menulis wasiatnya di atas selembar kertas yang dibubuhi tandatangannya.
Bukannya prihatin atas kondisi si ayah, mereka justru sibuk memikirkan kiranya harta apa yang dipendam oleh ayah mereka di bawah sawah dan ladang. Karena itu, mereka menyambut gembira wasiat tersebut, meskipun harus dibagi sama dan rata antara wanita dengan pria.
Dan tibalah saat di mana sang duda menghembuskan napas terakhir. Sepekan setelah kematian si ayah, kelima orang anak tersebut saling bersepakat untuk menggali sawah dan ladang peninggalan ayah mereka.
Namun, sudah sebagian besar dari sawah dan ladang itu mereka cangkuli, belum ada juga tanda-tanda keberadaan harta yang dimaksud ayah mereka.
"Sawah dan ladang ini sudah kita cangkuli dalam-dalam, tapi belum ada tanda-tanda keberadaan harta karun tersebut," kata si Sulung.
"Apakah ayah sudah salah berwasiat kepada kita?" tanya si bungsu.
"Tidak mungkin ayah salah," sahut si Sulung.
"Percuma... percuma... kita cangkuli sawah dan ladang ini. Lihat sudah hampir tiga perempat sawah ini kita gali, tidak mungkin harta karun itu di bawah sawah dan ladang ini," anak-anak yang menimpali.
"Tapi, baiknya kita kerjakan dulu hingga selesai, siapa tahu harta karun itu ada di seperempat lahan tersisa," usul si Sulung.
Mereka pun kembali mencangkul. Dan benar, hingga semua lahan dari sawah dan ladang itu dicangkuli tidak ada harta satu pun. Kelima orang itu kecewa. Mereka merasa dibohongi oleh ayah kandung mereka. Tapi, si bungsu punya pikiran lain.
"Kakak-kakakku, kita kan sudah mencangkuli semua lahan, dan kita juga tidak menemukan harta karun yang dimaksud oleh ayah di sini. Daripada pekerjaan kita sia-sia, bukankah lebih baik kita tanami saja tanah-tanah yang sudah kita cangkuli ini dengan padi dan palawija? Hasilnya nanti bisa kita gunakan untuk dijual."
Keempat kakaknya sepakat dengan pikiran si bungsu.
Lalu, mereka menanam padi dan palawija, seperti ayah mereka menanami sawah dan ladang tersebut. Lambat tapi pasti, padi-padi mulai menguning dan palawija juga mulai masak. Mereka pun memanen buah kerja mereka. Sedikit demi sedikit mereka berhasil mengumpulkan kekayaan seperti ayahnya dulu.
Akhirnya, mereka memahami filosofi wasiat ayah mereka sebelum meninggal dulu. Bahwa harta karun yang dimaksud di dalam sawah dan ladang adalah kerja keras mencangkuli. Dan kini, mereka merasakan semuanya

Cerit anak Jampang

Jampang 


Bayi yang masih merah itu lahir dan menangis keras sekali. “Syukur anak pertamaku sudah lahir,” kata ayahnya dengan gembira. Setelah seminggu, anak itu ditimang-timang. Ibunya memperhatikan dengan khawatir.“Selagi masih dalam kandungan saja sudah nakal, banyak geraknya di dalam perut. Setelah lahir demikian wujudnya. Ah, puas aku punya anak demikian sehat. Tetapi, aku tidak mau lagi punya anak. Cukup seorang ini saja, Bang. Legalah setelah dia lahir. Dia berteriak keras-keras pertanda apa, Bang?”
“Pertanda dia anak yang gagah berani.”
“Benar itu, Bang?”
“Anak keturunan Banten memang begitu.”
“Abang selalu mengandaikan asal Abang saja. Dia juga karena ibunya yang dari Jampang ini, daerah Sukabumi asli!”
“Sudahlah tak usah berdebat. Pokoknya dia sekarang jadi anak yang gagah.”
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Bayi itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, tidak memalukan silatnya, dan pandai memainkan golok. Di pesta-pesta keramaian selalu menjadi incaran mata para perawan. Setelah akil balig dia dinikahkan. Selanjutnya, si Jampang dengan keluarganya tinggai di Grogol, Depok.


Sayang, istrinya yang berasal dari Kebayoran Lama itu tidak berumur panjang. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya. Kadang-kadang saja dia pulang menemui ayahnya karena dia lebih senang tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.
Pada saat anaknya di rumah itulah ayahnya bercakap-cakap dengan kocak.
“Tong, kamu harus lebih baik dari ayahmu. Jadi orang yang terpandang dan dihormati. Ke mana-mana diundang untuk memberikan ceramah agama. Siapa yang bangga kalau bukan ayahmu ini?”
“Tapi ayah juga harus tidak bikin malu lagi. Yang alim, Yah, seperti biasanya orang-orang Banten. Masak kerja Ayah tiap hari merampok terus? Tidak bosan dikejar-kejar polisi? Di pesantren sudah dibicarakan orang terus. Meskipun tidak terus terang di telinga saya, tetapi darah saya mendidih. Bukan lantaran marah, tetapi malu sekali, Yah.”
“Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya. Jampang muda hanya tersenyum, tidak berkata apa pun.
“Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.”
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kiai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?”
Si Jampang muda menggelengkan kepala, “Pikiranmu cepat sekali berubah, Tong. Kamu tidak mau sekolah? Lalu? Kalau kamu tidak mau sekolah, lebih balk nikah saja.” Anaknya kaget.
“Saya tidak mau menikah, Yah. Lebih baik sekolah saja. Kalau Ayah mau menikah lagi saya tidak melarang.”
“Ha ha ha,” Jampang tertawa terbahak-bahak, “kalau kamu mau ibu lagi, nanti Ayah carikan.”
Jampang mempunyai seorang kawan di Tambun, bernama Sarba. Di rumah Sarba ini Jampang meneriakkan salam, “Assalamualaikum.”
“Alaikum salam,” jawab orang yang diberi salam dari dalam rumah. Ternyata yang muncul adalah Ciput, pembantu Pak Sarba.
“Pak Sarba ada?” tanya Jampang.
Ciput menjawab sedih, bahwa Pak Sarba sudah meninggal dunia.
“Kasihan, ya,” kata Jampang menyesal.
“Jadi, Mayangsari menjanda, Put?”
Ciput menganggukkan kepala.
“Kasihan,” kata Jampang sekali lagi, “tidak disangka.”
Jampang teringat Sarba. Sahabatnya ini orang balk. la mengenalnya sejak kanak-kanak, sama-sama dari Banten. Lalu, menikah ban punya anak bernama si
Abdih. Anak lelaki juga seumur Jampang muda. Tidak lama kemudian Mayangsari keluar dari kamarnya. Melihat sahabat suaminya datang, dia jadi sedih. Dia mengulang cerita tentang Sarba yang sudah lama meninggal dunia.
“Waktu itu Bang Sarba sakit apa Mayang, kok saya tidak diberitahu?”
“Ceritanya panjang sekali, Jampang. Ketika abangmu belum punya anak, kita berdua pernah pergi ke Gunung Kepuh Batu. Ziarah ke makam sambil memohon agar diberi anak. Juru kuncinya bernama Pak Samat, menerima kedatangan kita berdua. Pak Samat membaca doa dan mantra sambil membakar kemenyan hingga keluar setan dari makam itu.”
“Seram juga Mayang. Saya tidak tahan kalau sendirian di makam begitu seramnya.”
“Mengejek terus Jampang. Saya teruskan ceritanya. Abangmu bertanya kepada setan itu. Apakah saya bisa punya anak? Setan itu manggut-manggut. Bang Sarba senang sekali mendengar akan dapat anak lelaki. Lalu dia janji, kalau sudah lahir jabang bayi, dia akan bawa sepasang kerbau ke makam Gunung Kepuh Batu!”
“Selanjutnya bagaimana, Mayang?”
“Saya dan abangmu pulang. Beberapa bulan kemudian saya mengandung. Kemudian, lahir anak laki-laki, itulah si Abdih. Saat berumur lima betas tahun, dia ingin sekolah, Tetapi, abangmu bingung karena sulit hidup. Lalu, abangmu mengajak saya dan Abdih ke Betawi. Abangmu mau menenteramkan hati saya dan anak lelakinya. Di sini abangmu sakit, lalu meninggal. Menurut dukun iantaran dia lupa janjinya dulu.”
Jampang termangu-mangu.
“Orang kalau akan meninggal ada-ada saja caranya, Mayang. Seperti abang saya itu. Mengajak pergi ke Betawi, tiba-tiba pergi. Dia orang baik, Mayang.”
Jampang sedih. Lalu dia bertanya di mana si Abdih.
“Sekolah di Bandung,” kata Mayangsari.
“Mayang tidak perlu bingung memikirkan Abdib,” kata Jampang.
“Mang mungkin tidak bingung, Jampang. Sekolah di Bandung itu perlu biaya besar. Kan uangnya susah.”
“Anak sekolah di Bandung biar saja, jangan ikut dipikir,” kata Jampang lagi, “pokoknya nanti saya yang akan mengurus dia.”
“Kalau bukan saya yang mengurus siapa lagi, Jampang?” kata Mayangsari. “Makan dan pakaiannya, semua dari saya. Harta sudah babis, tak ada lagi yang tersisa.”


“Begini, Mayang” kata Jampang akbirnya, “Mayang sudah menjadi janda dan saya duda, lebih baik kita menikah, Klop. Mau apa lagi?”
Mayangsari kaget, lalu marah besar.
“Jangan bicara sembarangan. Jampang!” Mayangsari mulai marah. “Meskipun saya janda dan tidak punya suami lagi, tetapi tidak bisa sembarangan orang menghina. Kalau kamu ingin menikah, nikahlah, urus sendiri dirimu. Mau cari janda, perawan, atau banci, itu urusanmu, tetapi jangan dengan saya. Tidak akan pantas!”
Jampang malu sekali. Dia cepat keluar dari rumah itu. Di balaman depan dia melihat Mayangsari menutup pintu rapat-rapat, tanda kalau Jampang tidak bakal diterima lagi di rumahnya.
Di jalan, Jampang bertemu Ciput.
“Saya malu sekali, Put!” Jampang menceritakan sedikit pengalamannya dengan Mayangsari. “Padahal saya senang sekali dengan Mayang. Dia masih cantik. Bekas istri teman sendiri. Apa salahnya? Itu tandanya mengbormati kawan yang sudab almarhum, tetapi tiba-tiba dia marah besar. Kalau dia menikah dengan saya hartanya tidak akan pergi kemanamana. Setuju, Put’?”
Pembantu perempuan yang tidak pernah lepas dari Mayangsari itu dibujuk Jampang.
“Pokoknya nanti beres, Ciput,” janji Jampang. Tiba-tiba pintu rumab terbuka. Tampak Mayangsari makin marah.
“Ciput, masuk!” teriaknya.
Pembantunya menurut. Dia masuk rumab. Langsung ke biliknya di belakang.
Lalu, Mayangsari berteriak sambil melotot ke arah Jampang.
“Pergi, Jampang! Pergi!” Tetapi, Jampang masih tetap berdiri di tempatnya. Mayangsari makin berapi mendekati Jampang. “Jangan ikut campur masalab saya lagi, Jampang. Pergi kata saya!”
Belum sempat berkata apa-apa, Mayangsari sudah meninggalkan Jampang. Dia menutup pintu dan jendela-jendela rumab. Tidak peduli pada Jampang yang terpana.
“Sial sekali saya hari ini. Mayangsari, kamu akan menyerah. Kamu belum tabu siapa saya!”
Jampang berjalan lesu. Untuk mendapat kesenangan memang harus bekerja keras. Juga untuk mendapatkan perempuan secantik Mayangsari. Umur Mayangsari masih sekitar tiga puluh tahun. Jampang menuju rumah Sarpin, keponakannya, kebetulan ada di rumab.
“Saya perlu seorang dukun, Pin,” katanya kepada Sarpin.
Sarpin beran. “Buat apa, Mang?”
Jampang lalu menceritakan kembali pengalamannya dengan Mayangsari.
“Memang cinta sekali kalau begitu, Mang.”
“Jangan banyak bicara kamu,” tukas Jampang, “owl dukunnya!”
“Perkara dukun gampang, Mang. Saya tabu benar dukun yang manjur, Namanya Pak Dui dari kampung Gabus. Pintar sekali. Pokoknya orang yang diguna-guna pasti akan terkena. Setuju ke rumahnya, Paman?”
“Makin cepat makin bagus,” jawab Jampang.
Malam itu juga mereka pergi. Mereka berjalan membawa dua obor. Satu di tangan Jampang dan satu di tangan Sarpin. Pakaian mereka hitam-hitam. Golok terselip di pinggang. Di leher terkalung sarung sebagai penahan dingin udara malam. Mereka berjalan melewati pematang-pematang sawah dan menerobos kebun-kebun orang, serta melewati kuburan yang sepi. Obor mereka terus menyala. Sering obor itu ditunggingkan ke bawah, agar minyaknya turun ke api sebingga nyala api lebib besar. Akhirnya, sampailah mereka di rumah Pak Dul, dukun kampung Gabus yang terkenal.
“Saya minta guna-guna, Dukun, agar Mayangsari tergila-gila kepada saya,” kata Jampang terus terang tanpa malu-malu.
Jampang juga menyerahkan salam tempel ke tangan Pak Dul. Dengan gembira dukun memasukkan isi salam itu ke dalam kantong bajunya. Dia baca jampi-jampi. Mulutnya komat-kamit. Tidak lama kemudian Jampang diberi guna-guna. Sebelumnya, Jampang diberi tahu cara penggunaannya. Lalu, Jampang dan Sarpin pulang tergesa-gesa.
Pikiran Jampang selalu ke Mayangsari. Tidak peduli kaki sebelahnya terperosok ke dalam lumpur.
Mayangsari menggodanya, membawanya ke alam mimpi. Keponakannya repot karena jalannya jauh tertinggal di belakang. Guna-guna itu sudah diletakkan di rumab Mayangsari oleb Jampang. Begitu terkena, Mayangsari langsung gila. Dia sering tertawa-tawa. Berpakaian semaunya, tidak malu sama sekali, terutama kepada setiap lelaki yang lewat di depan rumahnya. Ketika Abdih pulang dari Bandung, kontan Mayangsari mencium dan memeluknya.
“Jampang! Jampang yang tampan!” Mayangsari merayu-rayu.
Abdih kaget serta sedih sekali melibat perubahan ibunya.
“Mari Jampang! Mari peluk lebib erat!”
Anaknya segera menyadarkan ibunya.
“Bu Bu! Sadar. Bu!”
Ciput pembantunya yang setia datang mendekat. “Kenapa Ibu sampai begini, Ciput?”
“Barangkali gara-gara Jampang,” kata Ciput, “dia pernah ke sini dan mengajak menikah ibumu, tapi ditolak. Dia bilang lebib baik gila daripada menikah dengan Jampang.”
“Jadi. Ibu langsung begini?”
Ciput mengangguk-angguk.
“Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, “yang mengguna-guna tentunya Mang Jampang. Sunggub bikin malu. Saya malu sekaii. Dukun mana yang bisa
menyembuhkan ibu, Ciput?”
Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya ke sana kemari akhirnya dapat berita. Pak Du di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang buat, dengan tidak menemui kesulitan Ala pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada Jampang.
Sesudah itu Abdib mencari Jampang. Dia marah sekali.
“Bisa atau tidak bisa, saya barus menikab dengan Ibumu, Abdib,” kata Jampang menegaskan.
“Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, “tetapi ada syaratnya, Mang barus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.”
“Saya tidak keberatan, Abdib. Saya akan usahakan.”
Abdib pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.
Dari mana dapat kerbau sepasang? Kerbau sepasang tidak gampang, pikir Jampang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas. Kerbau dua ekor belum apa-apa. Ke tempat itulah, Jampang dan Sarpin perqi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan ke luar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan ke arab Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah jajahan merasa gembira melihat Jampang telab dipenjara. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani, dan mereka yang menderita amat sedib. Jampang tidak sekadar merampok. Boleh dikata dia sebagai penolong rakyat kecil. Mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak. Rakyat kecil itu makin sedib ketika mendengar bahwa Jampang telab mendapat hukuman mati di Betawi.

Cerita anak Si Panjang

Si Panjang 


Kompeni Belanda pada abad ke-18 di Batavia merasa menghadapi masalah besar. Hambatan itu datang dari kalangan pedagang. Pelopornya adalah para tauke. Saingan ini memang amat licin karena para tauke dan organisasinya begitu terpadu. Sampai ke pelosok-pelosok mereka punya jaringan yang rapi dan tidak kentara, terutama dalam bidang perdagangan. Kalau harga yang satu naik, harga yang lain ikut naik. Tidak ada yang berbeda. Begitu juga dengan barang-barang mana yang harus muncul dan mana pula yang tidak dikeluarkan dulu. Semua demi keuntungan para tauke.Dengan alasan untuk kebugaran jasmani para pedagang dan warga warung kelontong di beberapa kampung Batavia sepakat untuk mendatangkan guru silat dari seberang laut. Mereka mengadakan latihan tersembunyi, biasanya malam hari. Kalau patroli Kompeni datang, mereka pura-pura latihan barongsai karena perayaan besar hampir tiba. Mereka nanti akan mengarak liong-liong besar dan panjang keliling kota Batavia sambil membakar kembang api sehari semalam. Pokoknya pesta besar. Kue-kue langka yang dibuat setahun sekali dan buah-buahan segar menjadi suguhan utama di tiap rumah. Serba istimewa.


Pejabat-pejabat Kompeni tidak suka kepada niat para tauke itu karena penguasa dan penentu segalanya di Batavia adalah para pejabat Kompeni, bukan para tauke. Oleh karena itu, para pejabat Kompeni mengadakan rapat pleno, dihadiri seiuruh bagian yang mengendalikan kota Batavia. Akhirnya, didapatkan beberapa jalan keluar, antara lain dengan mengerahkan budak belian sebanyak-banyaknya. Harga mereka juga tidak murah. Budak laki-laki bisa digunakan sebagai tenaga kasar di laut dan di hutan atau dilatih menjadi pengawal yang handal dan siap mati. Budak perempuan sebagai pembantu rumah tangga.
Karena selalu ikut tuannya yang kaya dan berkuasa, para budak banyak yang menjadi sombong, lupa asalnya. Di hadapan para tauke. mereka bisa berlagak. Bicaranya lebih tinggi dari tuannya. Ikut mengisap cerutu dan bertolak pinggang. Sering terjadi perkelahian antara para budak dan pedagang kelontong di pasar. Anehnya, biarpun para budak itu di pihak yang bersalah, sesampai di pengadilan mereka dibela. Akhirnya timbul protes, kelihatan sekali pejabat-pejabat Kompeni tetap lebih melindungi para budak. Para tauke disalahkan.
“Itu tidak adil,” gerutu si Panjang di hadapan kawan-kawannya.
Si Panjang adalah salah seorang tauke yang sudah lama mengikuti latihan silat di Gading Melati dekat Gandaria. Karena kecakapannya yang menonjol, si Panjang diangkat menjadi pemimpin para pesilat. Dia juga mulai dihormati sebagai guru mereka, dianggap sebagai pengganti guru dari Tiongkok yang sudah tua dan tidak bertenaga lagi itu. Si Panjang masih muda, berusia tiga puluhan, dan kuat. Tidak heran jika dia menjadi tumpuan kawan-kawan pesilat se-Betawi.
“Kalian harus berlatih lebih giat,” kata si Panjang, dimulai sekarang kalian harus berkumpul di sini tiap malam. Kita latihan yang praktis saja, yaitu teknik-teknik mempertahankan diri. Kita juga perlu memperdalam penyerangan dengan tenaga kosong. Gerakan dengan sedikit tenaga, tetapi dapat melumpuhkan lawan. Siapa tahu bisa digunakan sewaktu-waktu. Akan tetapi, rahasia harus tetap kita pegang. Sekali lagi tutup mulut. Berlagaklah seperti tidak tahu apa-apa, tetapi pasang telinga tajam-tajam. Kalau mengetahui hal-hal yang aneh dan mencurigakan, cepat bentahukan ke pusat kita di sini.”
Banyak amanat dan nasihat si Panjang kepada kawan-kawannya. Di antaranya harus tetap ramah kepada orang-orang Kompeni. Mereka yang masih bersahabat teruskan persahabatan itu dan yang berdagang harus makin meningkatkan usaha dagangnya. Akan tetapi, begitu sore hari kalau warung serta toko tutup, mereka satu per satu harus berkumpul kembali ke Gading Melati. Mereka membawa sumbangan makanan dan minuman serta bahan makanan pokok yang bisa disimpan untuk kepentingan perkumpulan silat. Mereka yang memiliki jung-jung di pelabuhan Batavia juga diberi tugas untuk menyediakan satu jung khusus. Siapa tahu dapat digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat.
Penguasa Batavia pada waktu itu Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Dari laporan Para penyelidik. dia langsung bisa membaca gelagat aneh dalam kota pemerintahannya. Dia menyebarkan agen-agennya ke daerah sasaran. Di antara agen-agennya itu ada yang bernama Liu Chu. Dari Liu Chu diketahui bahwa pengikut si Panjang makin banyak dan tempat mereka berkumpul di Gading Melati dekat pabrik gula.
“Apa yang mereka kerjakan di sang, mata-mata?” tanya Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Jawab Liu Chu, “Mereka menimbun candu. Hanya bagian atas saja yang berwujud rempah-rempah.”
Selanjutnya Liu Chu menjelaskan bahwa mereka juga mengumpulkan senjata tajam. Tiap malam mereka berlatih penuh semangat. Ikut hadir saat Liu Chu memberikan laporan adalah Jacob. Setelah Liu Chu meninggalkan ruangan, Jacob diperintahkan Baron van Imhoff untuk mengadakan rapat yang membicarakan peningkatan keamanan. Keputusan rapat, kalau para tauke tidak bisa dikendalikan lagi, akan dibuang ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).
Si Panjang dan kawan-kawan sudah mendengar keputusan yang dianggap sangat gila ini. Mengapa Beng Kong yang telah ditunjuk sebagai wakil para tauke menurut saja kepada Kompeni? Mengapa tidak memberikan gambaran sedikit lebih baik?
Swa Beng Kong adalah Kapten Cina yang sudah berkali-kali diperintahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff untuk membubarkan perkumpulan silat di kampung Gading Melati. Akan tetapi, mereka tetap saja membangkang. Malah Si Panjang mulai menunjukkan sikap permusuhan. Jacob mengusulkan agar orang-orang berpakaian pangsi hitam atau biru ditangkap saja. Padahal waktu itu orang baik-baik pun senang memakai pangsi hitam atau biru. Lebih-lebih saat diadakan pesta barongsai. Masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan tumpah ruah di pusat kota Batavia.
Selesai berpesta, serdadu-serdadu Kompeni sudah mengepung pusat keramaian. Mereka yang berpangsi hitam dan biru ditangkap. Orang-orang itu digiring ke balai kota. Lalu, dipindahkan ke patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai. Sampai di muara Sungai Ciliwung mereka dipindahkan ke kapal perang. Sementara itu, beberapa orang sempat menyelamatkan diri. Empat orang lari ke Gading Metati. Mereka segera menemui si Panjang.
Dan keterangan para pelarian itu, si Panjang menggeleng-gelengkan kepala, “Sepertinya tidak mungkin. Apa benar mereka yang tertangkap diceburkan di tengah laut sebagai santapan hiu?” Sekali lagi si Panjang menggeleng-gelengkan kepaia. Dia bertekad melakukan batasan. Kemudian, dia mengerahkan anak buahnya yang sudah terlatih dalam bersilat dan para pelaut perantauan, temannya datam menyelundupkan candu. Beberapa puluh senjata bisa dimiliki. Tidak sedikit serdadu Kompeni yang berjatuhan kena peluru dari pendukung-pendukung si Panjang. Akan tetapi, Baron van Imhoff mengirimkan serdadu lebih banyak lagi. Akhirnya, kekuatan si Panjang tidak seimbang. Ketangkasan bersilat saja tidak akan mampu menghadapi pasukan bersenjata yang terlatih. Anak buah si Panjang kocar-kacir. Sementara itu, serdadu-serdadu Kompeni semakin ganas. Si Panjang dan gerombolannya mengundurkan diri sampai ke Peninggaran. Di sini si Panjang kena peluru dan tewas.


Gubernur Jenderal Baron van Imhoff tidak meiupakan jasa Liu Chu yang bertindak sebagai mata-mata selama pemerintahannya. Dia menaikkan gaji Liu Chu menjadi 80 dukat setiap bulan dan memberi hadiah-hadiah lainnya. Tentu saja disertai kenaikan pangkat.

Cerita anak Raja Bunu Wafat

Raja Bunu Wafat 

Cerita rakyat Indonesia berjudul "Raja Bunu Wafat" merupakan cerita rakyat Kalimantan Tengah. Pesan moral yang disampaikan sangatlah baik, mengingatkan kita semua bahwa kematian tidak dapat dicegah oleh manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Esa-lah yang mengetahui rahasianya. Sedangkan, manusia hanya bisa berusaha. Demikianlah pesan yang disampaikan dalam cerita rakyat Indonesia ini. Tapi, bagaimana kisah selengkapnya? Silakan dibaca sendiri ya :)***
Dikisahkan bahwa Raja Bunu sudah lama menderita sakit yang kronis. Hari ke hari, penyakitnya bertambah parah. Berbagai macam upaya dilakukan oleh keluarga istana demi kesembuhan raja. Sayangnya, hasilnya nihil. Raja Sangen dan Raja Sangiang, yaitu saudara dari Raja Bunu, kemudian memberikan ide untuk memanggil Mangku Amat dan Nyai Jaya. Keduanya memang sudah tersohor ke seantero Kalimantan Tengah sebagai tabib yang sanggup menyembuh beragam penyakit, bahkan dengan kesaktiannya mampu menghidupkan kembali manusia yang telah meninggal dunia.
Raja Paninting Tarung, putra dari Raja Bunu, diutus untuk menjemput Mangku Amat dan Nyai Jaya yang tinggal di tepi Telaga Mantuk. Sayang sekali, kedua tabib sakti itu sedang tidak di rumah. Raja Paninting Tarung mendengus karena harus pulang dengan tangan hampa.
Saat ia melapor, Raja Sangen malah menyuruhnya kembali. "Cobalah datang sekali lagi, mungkin saat ini mereka telah kembali." Raja Paninting Tarung berangkat lagi. Lagi-lagi, si penghuni sedang tidak dirumah. Raja Paninting Tarung pulang dengan tangan hampa lagi saat melapor.
Raja Sangen dan Raja Sangiang memintanya untuk kembali lagi. Maksud dari keduanya adalah Raja Paninting Tarung disuruh menemui tabib sakti tersebut sampai dapat, jika mereka tidak dirumah, ia harus menunggunya sampai keduanya pulang. Namun, Raja Paninting Tarung tidak mengerti maksud dari Raja Sangen dan Raja Sangiang. Ia menganggap kedua saudara ayahnya menuduhnya telah berbohong. Makanya, ketika untuk ketiga kalinya, ia tidak bisa bertemu dengan tabib sakti itu, dibongkarlah rumah Mangku Amat dan Nyai Jaya. Ia ingin membuktikan pada kedua saudara ayahnya itu bahwa kedua tabib sakti itu benar-benar tidak ada dirumah.
"Saya telah sampai disana. Ini bukti bahwa saya ke sana, palang pintu, baji genderang, dan simpainya. Saya tidak berdusta," terang Paninting.
***
Sementara itu, Mangku Amat dan Nyai Jaya, terkejut mendapati rumahnya sudah dibongkar orang. Dengan kekuatan saktinya, mereka mencari tahu siapa yang melakukannya. Begitu tahu yang melakukan adalah Raja Paninting Tarung, mereka merasakan firasat buruk.
Benarlah, beberapa saat kemudian, Raja Bunu wafat.
Mangku Amat dan Nyai Jaya menyayangkan ulah Raja Paninting Tarung yang telah merusak rumah dan mengambil beberapa alat-alat pengobatannya. Jika saja, ia mau sabar menunggu, kemungkinan mereka masih bisa menyelamatkan Raja Bunu. Bahkan, jika Raja Bunu sudah wafat sekalipun, mereka masih bisa menghidupkannya. Namun, kini alat-alat pertabiban mereka rusak semua. Tak ada yang bisa mereka lakukan lagi.

Cerita anak Istana Bunga

Istana Bunga 

Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang memerlukan bantuan.Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, “Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!”
Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.
“Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!” usir Raja.
Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, “Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!”


Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka.


Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk pintu.
“Silakan masuk, Anak Muda,” sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, “Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan.”
Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya. Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu.
Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua. “Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan.”
“Amalan apa itu, Panembahan?” tanya Kusmantari.
“Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka.”
Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.
“Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati,” pesan Panembahan Manraba.
Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.
Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
“Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini.”
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana.”
Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.
Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.